Pekanbaru, FAKTA PEKANBARU - Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan usaha yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah, dimana tujuannya adalah sebagai salahsatu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tapi, pada kenyataannya bahwa masih banyak BUMD yang ada selama ini belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PAD.
Justru lebih banyak suntikan dana dari Pemerintah Daerah daripada keuntungan yang didapat, dalam hal ini PT. Sarana Pembangunan Pekanbaru (SPP) milik Pemko Pekanbaru.
“Kondisi tersebut menjadi beban bagi APBD Pemko Pekanbaru, sehingga apa yang menjadi tujuan berdirinya BUMD tersebut yakni sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah tidak tercapai,” ujar Pengamat Hukum Tata Negara, Dr. Miswar Pasai, M.H kepada Fakta Pekanbaru.
Adapun dasar hukum penyertaan modal oleh Pemko Pekanbaru kepada PT SPP, khususnya dalam pengelolaan Kawasan Industri Tenayan (KIT) yang infonya akan menelan anggaran sekitar Rp. 125 miliar dengan luas 266 hektar dan dengan total nilai aset Rp. 109 miliar tersebut, dikatakan Miswar, yakni Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jadi, penyertaan modal adalah pengalihan kepemilikan barang milik daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham daerah pada BUMD.
“Dalam APBD Pemko Pekanbaru, penyertaan modal kepada PT. SPP adalah salah satu bentuk kegiatan/usaha untuk meningkatkan pendapatan daerah guna mensejahterakan masyarakat Kota Pekanbaru. Dan untuk membantu mempercepat proses pembangunan Daerah,” terang Miswar.
Karena itulah, Miswar menambahkan, untuk mencapai sasaran tujuan PT SPP itu sebagai salah satu sarana PAD, maka perlu adanya upaya optimalisasi yaitu dengan adanya peningkatan profesionalisasi baik dari segi manajemen. sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang memadai sehingga memiliki kedudukan yang sejajar dengan kekuatan sektor perekonomian lainnya.
“Berpijak dari hal diatas tersebut, maka saya mempertanyakan kinerja mantan Direktur Utama PT SPP, Heri Susanto selama hampir 2 periode yang bertugas mengurusi KIT yang akan menjadi ikon dari kota Pekanbaru tersebut. Tidak hanya soal progres, namun juga mengenai pengolahan lahan seluas 266 hektar ke PT SPP itu. Karena, wacana itu sudah sekian tahun disampaikan namun belum terlaksana juga. Alias, hingga kini masih belum ada pembangunan dilahan tersebut melainkan masih tahap lobi,” jelas Miswar.
Mestinya, masih Miswar, berdasarkan hasil evaluasi itulah Walikota Pekanbaru, Firdaus segera melakukan rasionalisasi alias tidak lagi diberikan penyertaan modal dengan uang rakyat tersebut ke PT SPP. Dan Walikota juga diminta segera melakukan pergantian manajemen, serta jika perlu Walikota melakukan penjualan aset karena tidak memberikan laba.
“Walikota harus mengambil langkah tegas dengan mengganti Heri Susanto sejak periode pertama, karena ketika PT SPP itu tidak sehat mana mungkin dapat diharapkan memberikan laba yang lebih besar. Artinya, dapat diketahui bersama PT SPP tidak mampu dan tidak layak untuk mengelola KIT. Namun, jika KIT tersebut dikelola secara profesional tentu akan meningkatkan PAD,” tegas Miswar.
Aneh memang, Miswar menjelaskan, padahal persiapan mulai dari masterplan, legal administrasi, perizinan dan semua yang diperlukan untuk pengembangan KIT, semuanya sudah dipersiapkan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait. Dalam hal ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pekanbaru.
“Lantas, apa saja kerja Heri Susanto sejak dilantik sampai dengan surat pengunduran dirinya diajukan tanggal 16 Juni 2023 lalu ? Apa jangan-jangan cuma menghabiskan APBD saja. Seharusnya Ia bisa membuka lapangan kerja dan berkontribusi untuk APBD. Pantas saja, hingga Ia mengundurkan diri belum juga mempunyai langkah-langkah konkrit dalam menyegerakan realisasi KIT yang diserahkan oleh mantan Walikota Pekanbaru, Firdaus melalui Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 2 Juli 2020 lalu tersebut,” tanya Miswar.
Seharusnya, masih Miswar, Pemko Pekanbaru jauh-jauh hari harus tegas meminta pertanggungjawaban kinerja Heri Susanto tersebut pada bisnis Bus Trans Metro Pekanbaru (TMP) dan pengelolaan KIT untuk meningkatkan pendapatan dan laba.
“Bukannya malah mendiamkan saja saat PT SPP tidak pernah mencatatkan laba dan berkontribusi memberikan deviden kepada Pemko Pekanbaru, jadi wajar saja masyarakat kecewa dengan pengelolaan perusahaan plat merah itu. Sebab, setelah sekian lama beroperasi, belum memberikan apa-apa kepada pendapatan asli daerah Pekanbaru. Sementara operasionalnya tetap disuntik melalui subsidi APBD,” tegas Miswar.
Kalau sudah begini, dikatakan Miswar, seharusnya DPRD Pekanbaru sedari dulu melakukan rapat dan menyerahkan hasil rekomendasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat tentang BUMD yang bermasalah tersebut kepada Walikota. Sehingga tidak ada lagi anggaran untuk PT SPP pada APBD selanjutnya.
“Kedepannya saya minta pihak DPRD segera menganalisa secara detail kinerja Dirut PT SPP yang baru sejak 31 Juli 2024 lalu, Efrizal Syarief dan segera membuat rekomendasi demi kepentingan masyarakat. Dan saat pembahasan anggaran kedepannya, dengan kewenangan yang dimiliki DPRD untuk tidak lagi memberikan suntikan dana kepada PT SPP yang dinilai tidak produktif dan hanya merugikan anggaran daerah saja. Kalau perlu lakukan penutupan, karena merugikan Daerah,” terang Miswar.
Memang arah kebijakan Pihak Eksekutif untuk menjadikan Pekanbaru Kota Percontohan tidak sepenuhnya keliru, hanya saja Miswar menjelaskan, sebaiknya terlebih dahulu harus melalui penelitian kelayakan maupun perencanaannya. Paling utamanya, adalah melibatkan masyarakat dengan bersifat terbuka serta meluas. Jadi, tidak hanya dari pihak Eksekutif maupun Legislatif saja.
“Dengan kata lain, jangan sampai terjadi masyarakat luas sebagai subjek dalam segala pembangunan. Sementara, masyarakat itu sendiri justru tidak mengetahui apa yang akan dibangun atau diperuntukkan kepadanya. Artinya, Walikota Pekanbaru jangan asal seenaknya ngomong ke Media tentang kontribusi PT SPP dalam pengelolaan KIT tersebut ke Negara bakal mencapai belasan Triliun Rupiah setiap tahun setelah beroperasi nanti,” tukas Miswar.
Apalagi, imbuh Miswar, hal ini patut diduga sudah kerap terjadi di Pemko Pekanbaru. Alias, banyak keputusan hanya dari hasil kesepakatan kedua Lembaga Pemerintah tersebut. Sehingga, masih menimbulkan permasalahan di lapangan sejak saat mulai direalisir.
“Harusnya, kebijakan Eksekutif tersebut memperhatikan atau memperhitungkan bagaimana kapabilitas efektifikasinya dikemudian hari. Jangan hanya untuk kepentingan seremonial dalam kerangka mengkamuflase adanya kepentingan cari untung,” pungkas Miswar.
Karena itulah, masih Miswar, Pemko Pekanbaru mesti meninjau ulang Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 2 Juli 2020 lalu dengan PT SPP tersebut lebih dalam. Jangan hanya bisa menyerahkan pengelolaan saja, yang pada akhirnya hanya menggerogoti uang rakyat.
“Jadi, Pemko Pekanbaru tidak perlu bergagah-gagahan kalau hanya membebani uang rakyat. Apakah hal tersebut karena faktor tuntutan kebutuhan masyarakat ? Ataukah, demi pekerjaan proyek dan kepentingan bisnis ? Atau malah, hanya sekedar penciptaan citra prestise Kota Pekanbaru saja ? Jika ini sudah dianggap suatu kebiasaan, maka wajar saja banyak Pejabat di Pemko Pekanbaru yang diperiksa penyidik. Bahkan, ada yang telah dipenjara,” tutup Miswar.

"Nombok” 50 Miliar lebih
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Media ini, salahsatu jenis usaha yang dikelola PT SPP adalah Bus Trans Metro Pekanbaru (TMP) dengan jumlah karyawan 428 orang untuk 75 Unit Bus Trans Metro Pekanbaru. Adapun modal yang disertakan atau subsidi yang diberikan Pemko Pekanbaru untuk PT SPP tersebut dimulai pada tahun 2013 disubsidi sebesar Rp. 11 miliar, tahun 2014 sebesar Rp. 25 miliar, tahun 2015 sebesar Rp. 30 miliar untuk 75 bus, dan tahun 2016 sebesar Rp. 20 miliar. Jika dikalkulasikan sejak 2013 s/d 2016 subsidi Pemko Pekanbaru tersebut sebesar Rp. 86 miliar.
Sementara pendapatan yang diberikan PT SPP ke Pemko Pekanbaru selama dari tahun 2013-2016 hanya sebesar Rp. 34 miliar saja. Maka, tentu saja banyak yang tidak seimbang dari pemberian subsidi tersebut. Dan patut diduga juga banyak operasional yang tidak jelas dikeluarkan seperti minyak mobil yang kosong penumpang termasuk gaji pegawai yang seharusnya tidak ada disitu pun ikut dikeluarkan.
Lantas, sejak 2017 hingga 2022 lalu saat transisi pengelolaan dari PT. SPP ke PT. Trans Pekanbaru Mandiri (TPM) itu, sudah berapa pula uang rakyat yang digunakan Pemko Pekanbaru untuk “Nombok” lagi ? Sayangnya, pihak berkompeten saat itu dalam hal ini Walikota dan Sekdako tidak bertindak tegas.
Saat ini, PT SPP memiliki dua divisi utama, yaitu Divisi Kawasan Industri Tenayan dan Divisi Taman Wisata, serta dua anak perusahaan, yakni PT Sarana Pembangunan Energi Madani dan PT Sarana Pangan Madani. Kedepannya, diharapkan Walikota Pekanbaru, Agung Nugroho mulai mengevaluasi terhadap kinerja BUMD guna memastikan pengelolaan yang lebih optimal dan akuntabel.